Wednesday, November 13, 2019
Makalah Ekologi tumbuhan Gulma
MAKALAH
EKOLOGI TUMBUHAN
GULMA

Disusun Oleh :
Nama :
Syahirul Alim
Nim : 2017411019.P
Dosen :Dwi
Rosanti, S.Si., M.Si
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG 2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh pada tempat
yang tidak dikehendaki oleh manusia, karena akan merugikan manusia baik
langsung maupun tidak langsung (Tjitrosoedirjo, 1984). Tumbuhan yang lazim menjadi gulma mempunyai
ciri yang khas yaitu pertumbuhannya cepat, mempunyai daya saing kuat dalam
memperebutkan faktor-faktor kebutuhan hidup, mempunyai toleransi yang besar
terhadap suasana lingkungan yang ekstrim, mempunyai daya berkembang biak yang
besar baik secara vegetatif atau generatif maupun kedua-duanya, alat
perkembangbiakannya mudah tersebar melalui angin, air maupun binatang, dan
bijinya mempunyai sifat dormansi yang memungkinkan untuk bertahan hidup yang
lama dalam kondisi yang tidak menguntungkan (Nasution,1986).
Dalam sistem pertanian gulma tidak dikehendaki
karena akan menimbulkan banyak kerugian antara lain: menurunkan hasil,
menurunkan mutu, sebagai tanaman inang hama dan penyakit, menimbulkan keracunan
bagi tanaman pokok seperti allelopati, mempersulit pengolahan tanah, menghambat
atau merusak peralatan, mengurangi debit dan kualitas air, serta menambah biaya
produksi.
Keberadaan gulma dengan jumlah populasi cukup tinggi
mengakibatkan kerugian besar bagi manusia sehingga perlu dikendalikan. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara
preventif, manual, kultur teknis, biologi, hayati, terpadu, dan atau secara
kimia dengan menggunakan herbisida. Pengendalian gulma dengan cara menggunakan
herbisida kimia banyak diminati terutama untuk lahan pertanian yang cukup
luas. Hal tersebut dikarenakan herbisida
kimiawi dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu, mengendalikan gulma pada
larikan tanaman pokok, mencegah keruskan tanaman pokok, lebih efektif membunuh
gulma tanaman tahunan dan semak belukar, dan meningkatkan hasil panen pada
tanaman pokok dibandingkan dengan penyiangan biasa (Sukman dan Yakup,
1995).
Namun disisi lain herbisida kimiawi memberikan
dampak negatif yaitu terjadinya keracunan pada organisme nontarget, polusi
sumber-sumber air dan kerusakan tanah, juga keracunan akibat residu herbisida
pada produk pertanian. Dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan, maka
semakin meningkat pula tuntutan masyarakat akan proses usaha tani yang ramah
lingkungan dan produk pertanian yang lebih aman. Salah satu alternatif usaha pemberantasan
gulma pertanian dan perkebunan adalah menggunakan bioherbisida. Bioherbisida adalah suatu jenis herbisida
yang bahan aktifnya berasal dari makhluk hidup.
Dalam hal ini penulis mencoba memanfaatkan limbah tanaman kakao yang dapat
dimanfaatkan sebagai bioherbisida.
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan
oleh para petani di Indonesia karena nilai ekonominya tinggi dan dapat dipanen
setiap minggunya sehingga memberikan keuntungan yang tinggi bagi para petani.
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor non
migas yang cukup berkontribusi bagi perekonomian Indonesia. Potensi pengembangan kakao di Indonesia cukup
besar, baik dari sumber daya yang dimiliki, teknologi yang dikuasai, maupun
peluang pasar yang terus berkembang pada masa yang akan datang. Total ekspor kakao Indonesia tahun 2008
sebesar 515.576 ton dan nilainya
mencapai 1.269.022.000 US$ (Statistik dan Informasi, 2009). Sedangkan untuk produksi kakao selama dua
tahun terakhir dalam negeri (2009—2010)
mengalami peningkatan 3,317 ton (BPS
Pusat, 2010). Pada proses pasca panen kakao dilakukan kegiatan fermentasi, cara
tersebut berfungsi untuk meningkatkan cita rasa khas kakao, pengurangan rasa
pahit dan sepat, serta perbaikan kenampakan fisik kakao (Susanto, 1994). Pada proses tersebut menghasilkan limbah
berupa cairan putih yang dikeluarkan oleh hasil fermentasi. Cairan tersebut adalah pulp biji kakao yang
telah terdegradasi karena proses fermentasi. Pulp adalah lapisan yang berwarna
putih yang melapisi permukaan biji kakao. Pulp yang melingkupi biji kakao
terdiri dari 80 – 90% air dan 12 – 15% gula, dalam bentuk glukosa dan
sukrosa. Pada awal fermentasi,
mikroorganisme yang aktif adalah khamir (yeast) yang memecah sukrosa, glukosa
dan fruktosa menjadi etanol. Bersamaan
dengan hal itu, terjadi pula pemecahan pektin dan metabolisme asam
organik. Aktivitas selanjutnya dilakukan
beberapa genera bakteri asam laktat dan asam asetat yang memecah etanol menjadi
asam laktat. Selain itu juga dihasilkan
asam asetat, dan asam organik lain seperti asam sitrat dan malat (Atmana,
2000).
Dengan kandungan senyawa-senyawa hasil fermentasi
tersebut diharapkan dapat dijadikan sebagai bioherbisida. Hal tersebut didasarkan terhadap uji awal
limbah ini dapat meracuni dengan munculnya klorosis dan mencegah perkecambahan
gulma. Proses pemanfaatan pulp kakao belum banyak diketahui oleh masyarakat
secara umum, sehingga sering terjadi permasalahan limbah pada saat proses
pengolahan awal kakao. Melalui kasus
ini, maka dilakukan penelitian dengan harapan dapat mengurangi limbah pulp
kakao, dengan menghasilkan produk bahan alami yang tentunya sangat
bermanfaat sebagai herbisida yang ramah
lingkungan.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pengaruh lama fermentasi cairan buah
kakao terhadap tingkat keracunan pada gulma?
2. Bagaimana pengaruh beberapa jenis gulma terhadap
tingkat keracunan?
3. Bagaimana pengaruh interaksi antara lama
fermentasi dan jenis gulma dalam mempengaruhi tingkat keracunan gulma?
C. Tujuan
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah, maka disusun tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh lama fermentasi cairan buah
kakao terhadap tingkat keracunan pada gulma.
2. Mengetahui pengaruh beberapa jenis gulma terhadap
tingkat keracunan. \
3. Mengetahui pengaruh interaksi antara lama
fermentasi dan jenis gulma dalam mempengaruhi tingkat keracunan gulma.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gulma
Gulma adalah setiap
tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan sehingga manusia
berusaha untuk mengendalikannya. Gulma
dapat merugikan pertumbuhan dan hasil tanaman karena bersaing pada unsur hara,
air, cahaya dan sarana tumbuh lainnya (Sebayang, 2008).
Klasifikasi atau
penggolongan gulma diperlukan untuk memudahkan dalam mengenali atau
mengidentifikasi gulma. Berdasarkan
respons gulma terhadap herbisida maka gulma dapat digolongkan menjadi:
1. Gulma rerumputan
(grasses) merupakan gulma yang termasuk dalam famili Poaceae atau
Graminae. Kelompok gulma ini ditandai
dengan tulang daun sejajar dengan tulang daun utama, berbentuk pita, dan
terletak berselang-seling pada ruas batang.
Batang berbentuk silindris, beruas dan berongga. Akar gulma golongan ini tergolong akar
serabut.
2. Gulma golongan
tekian (sedges) merupakan gulma yang termasuk dalam famili Cyperaceae. Gulma yang termasuk golongan ini memiliki
ciri utama letak daun berjejal pada pangkal batang, bentuk daun seperti pita, tangkai bunga tidak
beruas dan berbentuk silindris, segitiga atau segiempat.
3. Gulma berdaun lebar
(broadleaves) semua gulma yang tidak tergolong Poaceae dan Cyperaceae merupakan
gulma golongan daun lebar. Sebagai
gambaran umum , bentuk daun gulma golongan ini adalah lonjong, bulat, menjari,
atau berbentuk hati. Akar yang dimiliki
pada umumnya berupa akar tunggang.
Batang umumnya bercabang, berkayu atau sukulen. Bunga golongan daun lebar ada yang majemuk
atau komposit dan ada yang tunggal (Sembodo, 2010).
Biji gulma dapat
tersimpan dan bertahan hidup selama puluhan tahun dalam kondisi dorman, dan
akan berkecambah ketika kondisi lingkungan mematahkan dormansi itu. Terangkatnya biji gulma ke lapisan atas
permukaan tanah dan tersedianya kelembaban yang sesuai untuk perkecambahan
mendorong gulma untuk tumbuh dan berkembang.
Biji spesies gulma setahun (annual spesies) dapat bertahan dalam tanah
selama bertahun-tahun sebagai cadangan benih hidup atau viable seeds (Melinda, 1998).
Biji gulma yang
ditemukan di makam Mesir yang telah berumur ribuan tahun masih dapat
menghasilkan kecambah yang sehat. Jumlah
biji gulma yang terdapat dalam tanah mencapai ratusan juta biji (Direktorat
Jenderal Perkebunan, 1976). Karena benih
gulma dapat terakumulasi dalam tanah, maka kepadatannya terus meningkat
(Kropac, 1966). Dengan pengolahan tanah konvensional, perkecambahan benih gulma
yang terbenam tertunda, sampai terangkat ke permukaan karena pengolahan tanah.
Penelitian selama tujuh tahun mengindikasikan lebih sedikit benih gulma pada
petak tanpa olah tanah dibanding petak yang diolah dengan bajak singkal
(moldboard-plow), biji gulma terkonsentrasi pada kedalaman 5 cm dari lapisan
atas tanah (Clements , 1996).
Pengaruh negatif gulma
terhadap tanaman budidaya dapat terjadi karena kompetisi (nutrisi, air, cahaya
dan CO2), produksi senyawa penghambat pertumbuhan (alelopati), sebagai inang
jasad pengganggu tanaman lain (serangga hama atau patogen penyakit), serta
menurunkan kualitas hasil karena adanya kontaminasi dari bagian-bagian gulma.
Dalam hal kompetisi, daya kompetisi gulma ditentukan oleh jenis, densitas,
distribusi, umur atau lamanya gulma tumbuh bersama tanaman budidaya, kultur
teknik yang ditetapkan pada tanaman budidaya dan jenis atau varietas tanaman
(Tjitrosoedirdjo et al., 1984 dalam Murni 1995).
Secara kualitatif,
Suprapto dan Yufdy (1987) menyatakan bahwa pengaruh buruk dari gulma pada
tanaman yang kurang mendapat perawatan yang teratur adalah pertumbuhan tanaman
terhambat, cabang produksi kurang dan pertumbuhan tanaman muda tidak normal
serta daunnya berwarna kuning. Selain faktor kompetisi dan alelopati,
keberadaan gulma di pertanaman dapat merupakan inang patogen atau hama bagi
tanaman.
2.2 Pengendalian Gulma
Pengelolaan gulma
adalah kegiatan mengendalikan atau membunuh jenis gulma yang mempunyai nilai
negatif dan melestarikan gulma yang memiliki nilai positif, menekan pertumbuhan
gulma hingga di bawah ambang ekonomi.
Pengelolaan gulma dapat dilakukan dengan cara pencegahan, pemberantasan,
dan pengendalian gulma. Pencegahan gulma
dilakukan dengan cara sortasi benih, media tanam yang bersih dan
karantina. Pemberantasan dapat dilakukan
secara kimiawi dan terpadu. Sedangkan
pengendalian gulma secara mekanis (kultivasi, hand weeding, pencangkulan,
pemotongan, pembakaran, pemberian mulsa), kultur teknis (penggunaan varietas
unggul, pengaturan jarak tanam, pemupukan, pengeringan lahan, multiple croping)
, dan hayati atau biologi (musuh alami) (Rogomulyo, 2008).
2.2.1 Teknik Pengendalian Gulma
Menurut Sukman dan
Yakup (1995), yang dimaksud dengan pengendalian gulma adalah sebagai kegiatan
membatasi infestasi gulma sehingga tanaman dapat dibudidayakan secara produktif
dan efisien. Untuk menjaga keseimbangan
ekologi tidak ada keharusan untuk memberantas seluruh gulma yang ada, cukup
menekan pertumbuhan atau mengurangi yang diperoleh dari penekanan gulma sedapat
mungkin seimbang dengan usaha atau biaya yang dikeluarkan. Pengendalian gulma
merupakan usaha meningkatkan daya saing tanaman pokok dan melemahkan daya saing
gulma, sehingga gulma tidak mampu tumbuh/berkembang secara berdampingan dalam
waktu yang bersamaan dengan tanaman pokok.
2.2.2 Pengendalian Gulma dengan Herbisida
Herbisida adalah zat
kimia yang dapat menekan pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya jika
dilakukan secara tepat (Moenandir, 1993).
Dalam mengendalikan gulma secara kimiawi hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah efikasi (daya racun herbisida terhadap gulma), keamanan bagi operator
maupun lingkungan, dan aspek ekonominya (Triharso, 1994).
Menurut Sukman dan
Yakup (1995), keuntungan menggunakan herbisida antara lain (1) dapat
mengendalikan gulma sebelum mengganggu, (2) mengendalikan gulma pada larikan tanaman
pokok, (3) mencegah kerusakan perakaran tanaman pokok, (4) lebih efektif
membunuh gulma tanaman tahunan dan semak belukar, dan meningkatkan hasil panen
pada tanamn pokok dibandingkan dengan penyiangan biasa. Terdapat dua tipe
herbisida menurut aplikasinya: herbisida pratumbuh (preemergence herbicide) dan
herbisida pascatumbuh (postemergence herbicide). Yang pertama disebarkan pada
lahan setelah diolah namun sebelum benih ditebar (atau segera setelah benih
ditebar). Biasanya herbisida jenis ini
bersifat nonselektif, yang berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Yang kedua diberikan setelah benih
memunculkan daun pertamanya. Herbisida
jenis ini harus selektif, dalam arti tidak mengganggu tumbuhan pokoknya. Pada
umumnya herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting
seperti pati, asam lemak atau asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang
"normal" dalam proses tersebut.
Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan
menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu
keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan (Wikipedia,
2011).
Berdasarkan penyerapan
senyawa pada gulma sasaran, herbisida dibagi menjadi dua golongan yaitu: (1)
herbisida kontak, yaitu herbisida yang membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida
tersebut. Herbisida ini ditranslokasikan
di dalam jaringan tumbuhan. Oleh karena
itu, herbisida ini membunuh bagian gulma oleh herbisida tersebut. Herbisida ini tidak ditranslokasikan di dalam
jaringan tumbuhan. Oleh karena itu,
herbisida ini hanya mampu membunuh bagian gulma yang berada di atas. (2) herbisida sistemik, yaitu herbisida yang
bisa masuk ke dalam jaringan tumbuhan dan ditanslokasikan ke bagian tumbuhan
lainnya. Oleh karena itu, herbisida ini
mampu membunuh jaringan gulma yang berada di dalam tanah (Djojosumarto, 2008).
Herbisida yang
disemprotkan secara pratumbuh pada tanah akan berada di permukaan tanah. Kemudian proses pencucian akan meresapkan ke
dalam lapisan tanah teratas, dimana oksigen banyak terdapat dan biji
gulma. Herbisida ini dikombinasikan
dengan pengerjaan tanah, sehingga herbisida dapat aktif di bawah permukaan
tanah (Tjitrosodirdjo, 1984).
2.3 Mekanisme Kerja Beberapa Jenis Herbisida
Berdasarkan mekanisme
kerjanya herbisida dibedakan atas dua
golongan yaitu kontak dan sistemik (Sastroutomo, 1992). Paraquat digunakan untuk mengendalikan gulma
dengan pengaruhn kontak, penyerapannya melalui daun sangat cepat sehingga tidak
mudah tercuci oleh air hujan. Senyawa ini
mempengaruhi sistem fotosintesis khususnya mengubah aliran elektron
dalam tumbuhan gulma. Umumnya
pembentukan klorofil dihambat sehingga terjadi klorosis. Sulfosat merupakan herbisida sistemik yang
dapat mengendalikan gulma berdaun lebar,
berdaun sempit maupun alang-alang. Glyfosat merupakan herbisida bersifat
sistemik yang efektif mengendalikan gulma berdaun lebar dan sempit. Cara kerja
herbisida ini yaitu mempengaruhi metabolisme asam nukleat dan sintesa protein
(menghambat pembentukan ikatan asam amino).
2.4 Dampak
Negatif Herbisida
Konsekuensi dari
pemakaian herbisida yang sama (sama jenis bahan aktif atau sama cara kerja)
secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal maka ada dua
kemungkinan masalah yang timbul pada areal tersebut; yaitu terjadi dominansi
populasi gulma resisten-herbisida atau dominansi gulma toleran herbisida. Pada suatu populasi gulma yang dikendalikan
menggunakan satu jenis herbisida dengan hasil memuaskan, ada kemungkinan satu
individu dari sekian juta individu yang diberi herbisida memiliki gen yang
membuat individu tersebut kebal terhadap herbisida tersebut. Individu yang kebal tersebut tumbuh normal
dan menghasilkan regenerasi, sejumlah individu yang juga tahan terhadap
herbisida yang sama pada aplikasi herbisida berikutnya. Demikian seterusnya secara berulang-ulang,
setiap pengaplikasian herbisida yang sama akan mematikan individu-individu yang
sensitif dan meninggalkan individu-individu yang resisten. Jumlah individu-individu yang resisten
tersebut pada suatu ketika menjadi signifikan dan menyebabkan kegagalan dalam
pengendalian (Edison Purba, 2009).
Penggunaan suatu
herbisida yang terus-menerus sering menimbulkan perubahan populasi di dalam komunitas
gulma dari jenis yang peka ke arah yang toleran misalnya penggunaan herbisida 2,4-D yang terus menerus
pada serelia untuk mengendalikan gulma berdaun lebar akan mengakibatkan
pertumbuhan kuat bagi gulma golongan rumput (Freyer dan Chancellor, 1970).
Pengendalian gulma
dengan cara kimia walaupun sangat efektif mengatasi gulmagulma tertentu, tetapi
masih ada spesies gulma yang sulit dikendalikan dan untuk meningkatkan efikasi
herbisida terhadap gulma tersebut hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan
konsentrasi, yang efek residunya akan menimbulkan resiko dan dampak lingkungan
yang mematikan flora dan fauna ekosistem.
Disamping itu, penggunaan herbisida secara terus menerus akan
mengakibatkan terjadinya resurgensi gulma yang sebelumnya merupakan gulma
sekunder (Munandar dan Erizal Sodikin, 1996).
Beberapa jenis
pestisida yang banyak digunakan di lahan pertanian menggunakan bahan aktif
1,1′-dimetil-4,4′-bipiridin (paraquat) yang digolongkan sebagai herbisida
golongan piridin yang bersifat kontak tak selektif dan dipergunakan secara
purna tumbuh. Bahan aktif pada herbisida merupakan senyawa toksik yang
keberadaannya dalam tanah (20 ppm) mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Azotobacter dan Rhizobium yang berperan dalam fiksasi nitrogen. Selain itu bahan
aktif yang terkandung dalam herbisida juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri
E coli dan alga di dalam tanah. Bahan aktif pada herbisida merupakan bagian
dari kelompok senyawa bioresisten yang sulit terdegradasi secara biologis.
Bahan aktif pada herbisida
relatif stabil pada suhu, tekanan serta pH yang normal, sehingga memungkinkan
untuk tinggal lebih lama di dalam tanah. Bahan aktif ini juga mudah larut dalam
air sehingga memungkinkan untuk tercuci oleh air hujan atau air irigasi
sehingga dapat mencemari lingkungan atau system perairan.
2.5
Bioherbisida
Alang-alang termasuk
salah satu jenis gulma terpenting di Indonesia dan merupakan salah satu jenis
gulma terganas di dunia. Upaya
pengendalian alang-alang dihadapkan pada banyak kendala, diantaranya karena
rimpangnya mempunyai kemampuan penetrasi sangat dalam mencapai 120 cm, daya
adaptasinya yang tinggi pada kondisi lingkungan minimal dan kemampuan tumbuh
kembangnya yang sangat cepat. Salah satu
upaya pemanfaatan alangalang adalah dengan menggunakannya sebagai herbisida
hayati (bioherbisida). Hal ini didasarkan pada alelopat (senyawa kimia) yang
dihasilkan alang-alang yang dapat menghambat atau meracuni tumbuhan lain. Dalam ekstrak alangalang terdapat empat
golongan senyawa fenolik yaitu asam isofemfik, asam salisilik, asam veratatrat
dan asam amisat (http://elib.pdii.lipi.go.id, 2018).
Kulit jengkol
mengandung 2 senyawa asam (asam lemak rantai panjang dan asam fenolat) yang
dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain seperti gulma. Pada prinsipnya kulit
jengkol dimanfaatkan sebagai herbisida alami (bioherbisida) melalui pemanfaatan
alelopati secara tidak langsung. Ekstrak
air kulit jengkol ini dapat berpengaruh terhadap indeks pertumbuhan jentik
Aedes aegypti, dan langkah ini tentu dapat diaplikasikan dalam program
pemberantasan jentik Aedes aegypti di daerah endemis DBD. Hasilnya, DBD kabur
karena jentiknya tidak berkembang, dan ingkungan pun tidak tercemar berkat
ekstrak kulit jengkol. Kulit jengkol yang
digunakan sebagai biolarvasida dapat langsung digunakan dalam bentuk simplisia
atau jika ingin disimpan lama simplisia dihaluskan hingga berbentuk serbuk,
kemudian serbuk ini ditaburkan pada got, saluran air, kolam, atau tempat berair
lainnya di luar rumah (Nurhayati, 2005).
Cuka kayu merupakan uji
coba yang pertama dilakukan dalam pengendalian tungau lebah. Berdasarkan artikel yang termuat dalam
Tabloid AgroIndonesia tanggal 26 April 2005 menyatakan bahwa cuka kayu adalah
cairan yang berasal dari asap hasil pembakaran pada proses pembuatan arang kayu
yang dapat dimanfaatkan sebagai insektisida dan herbisida organik yang ramah
lingkungan (Nurhayati, 2005).
2.6 Buah
Kakao
Buah kakao berupa buah
buni yang daging bijinya sangat lunak. Kulit buah mempunyai 10 alur dan
tebalnya 1-2 cm. Jumlah bunga yang
menjadi buah sampai matang, jumlah biji dan berat biji yang ada di dalam buah
merupakan faktor-faktor yang menentukan produksi. Buah muda yang ukurannya kurang dari 10 cm
disebut cherelle (buah pentil). Pada
waktu muda, biji menempel pada bagian dalam kulit buah, tetapi bila buah telah
matang maka biji akan terlepas dari kulit buah. Buah yang demikian akan
berbunyi bila digoncang (Siregar, 2003).
2.6.1 Pulp Kakao
Secara umum buah kakao
terdiri dari empat bagian yaitu kulit, plasenta, pulp dan biji. Buah yang matang berkulit tebal dan berisi
30-50 biji yang masing-masing terbungkus oleh pulp berwarna putih, manis dan
berlendir yang sangat bermanfaat dalam proses fermentasi. Bagian dalam biji
yang disebut kotiledon, merupakan bagian yang digunakan untuk pembuatan produk
kakao setelah melalui proses pengolahan pasca panen. Komposisi pulp kakao adalah:
a. kulit (544.8 gram)
b. pulp (48.0 gram)
c. plasenta (-)
d. biji (676.5 gram)
Yang dimaksud dengan
pulp adalah lapisan yang berwarna putih yang melapisi permukaan biji
kakao. Pulp yang melingkupi biji kakao
terdiri dari 80 – 90% air dan 12 – 15% gula, dalam bentuk glukosa dan
sukrosa. Gula ini merupakan komponen
yang sangat penting untuk pertumbuhan mikroba selama proses fermentasi. Pulp merupakan lapisan tebal endosperm, yang
terdiri dari sel-sel turbular dengan ruangan antar sel yang besar. Pada buah mentah lapisan ini membengkak, akan
tetapi pada buah masak lapisan ini lunak dan berlendir. Selama proses
fermentasi sel-sel ini mati dan terlepas, membentuk selaput seperti butir-butir
pasta, mudah dilepaskan dari kulit biji (Nasution , 1985).
Beradasarkan landasan
teori yang telah dikemukakan, diajukan kerangkapemikiran untuk menjelaskan
perumusan masalah. Gulma merupakan
tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki oleh manusia, karena
akan merugikan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Gulma dapat merugikan pertumbuhan dan hasil
tanaman karena bersaing pada unsur hara, air, cahaya dan sarana tumbuh
lainnya. Dengan sifat merugikan tersebut
maka perlu dilakukan pengendalian.
Pengendalian gulma yang dapat dilakukan antara lain preventif atau pencegahan,
mekanik atau fisik, kultur teknik, hayati, kimia , dan terpadu. Pengendalian gulma dengan cara kimia dapat
menggunakan herbisida kimia, cara tersebut
banyak diminati terutama untuk lahan pertanian yang cukup luas. Hal tersebut dikarenakan dengan menggunakan
herbisida maka lebih efektif membunuh gulma dan efisien waktu, tenaga kerja
serta ekonomi. Namun disisi lain
penggunaan herbisida kimia secara terus menerus memberikan dampak negatif
terhadap lingkungan, operator, dan organisme nontarget lainnya. Dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan dan
mengetahui efek buruk penggunaan bahan kimia, maka semakin meningkat pula
tuntutan masyarakat akan proses usaha tani yang ramah lingkungan dan produk
pertanian yang lebih aman. Salah satu
alternatif usaha pemberantasan gulma pertanian dan perkebunan adalah
menggunakan bioherbisida. Bioherbisida
adalah suatu jenis herbisida yang bahan aktifnya berasal dari makhluk
hidup. Dalam hal ini penulis mencoba
memanfaatkan tanaman kakao yang dapat dimanfaatkan sebagai bioherbisida
disamping pemanfaatan limbah yang tidak terpakai. Kakao merupakan komoditas
perkebunan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Agar
rasa khas kakao keluar dan menghasilkan kualitas kakao yang baik maka
dilakukan fermentasi. Secara umum
buah kakao terdiri
dari empat bagian
yaitu kulit, plasenta, pulp
dan biji. Pulp adalah lapisan yang berwarna putih yang
melapisi permukaan biji kakao. Pulp yang
melingkupi biji kakao terdiri dari 80 – 90% air dan 12 – 15% gula, dalam bentuk
glukosa dan sukrosa. Glukosa dan sukrosa
yang ada dalam kandungan kakao akan mengalami fermentasi. Hal ini terjadi karena pulp yang terdapat
dalam biji kakao terkontaminasi dengan jasad renik yang ada di dalam pulp
kakao. Fermentasi adalah cara yang dilakukan agar pulp kakao lepas dari biji
kakao. Fermentasi dilakukan
berminggu-minggu, hasil dari fermentasi kakao tersebut berupa limbah cairan putih
yang banyak dibuang oleh para petani.
Dengan kandungan glukosa dan sukrosa, asam-asam organik dan beberapa
asam organik lainnya seperti asam polifenol maka limbah kakao tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai bioherbisida yang merupakan faktor eksternal yang dapat
menghambat pertumbuhan gulma. Sifat
asam-asam organik yang dihasilkan oleh
limbah fermentasi kakao tersebut dapat merusak jaringan dan menghambat
pertumbuhan gulma. Kandugan hasil fermentasi yang terdapat dalam pulp kakao
bisa dimanfaatkan sebagai bioherbisida pra tumbuh, hal ini dikarenakan pulp
kakao mengandung asam malat, asam sitrat, asam asetat dan polifenol yang merupakan beberapa contoh zat kimia yang
bersifat allelopat, yaitu dapat menghambat perkecambahan. Dengan kandungan
senyawa kimia tersebut dapat
mempengaruhi sintesa asam nukleat dan protein pada proses metabolisme terutama
pada saat proses imbibisi sehingga biji gulma tidak dapat berkecambah dan mati.
Selain dijadikan sebagai bioherbisida pratumbuh ciran fermentasi pulp kakao
dapat dijadikan bioherbisida pascatumbuh karena dapat merusak bagian gulma yang
terkena cairan ini. Semakin lama cairan
pulp kakao terfermentasi maka pH akan semakin rendah dan kandungan senyawa asam
organiknya akan tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai zat penekan pertumbuhan
gulma dan merusak jaringan gulma. Selain
itu respons tiap golongan dan jenis gulma berbeda-beda tergantung dengan
fisiologi dan morfologi gulma itu sendiri (Nasution,
1985).
Sebelum terjadi proses
fermentasi, pH pulp adalah sekitar 3.5 dan protein serta asam sitrat 1 – 3%
(Minifie, 1999). Senyawa-senyawa lain yang juga terdapat dalam pulp kakao
adalah kalium, kalsium, magnesium, albuminoids dan lain-lain (Siregar, 1989).
Saat buah kakao
dipecah, pulp akan terkontaminasi dengan jasad renik, sehingga proses
fermentasi pulp terjadi. Proses fermentasi ini menyebabkan terjadinya dua
perubahan besar pada pulp, yaitu (1) Peragian gula menjadi alkohol oleh khamir
dan bakteri asam laktat dan (2) Peragian alkohol menjadi asam asetat oleh
bakteri asam asetat. Volume dan komposisi pulp akan berubah-ubah setiap hari
dan terus menerus terfermentasi (Away, 1985).
2.7
Fermentasi
Fermentasi merupakan
suatu proses yang menghasilkan produk berupa alkohol dan asam organik yang
terjadi secara khas pada bahan tumbuhan, sebagai akibat penguraian karbohidrat
yang merupakan senyawa organik yang utama pada jaringan tumbuhan. Fermentasi tidak hanya terjadi pada senyawa
gula, melainkan dapat pula terjadi pada asam amino, asam organik, purin dan
pirimidin, namun jika proses ini berlangsung secara tidak teratur kadang gula
langsung dirubah menjadi asam organik (Hartoto, 1991).
2.7.1
Fermentasi Alkohol
Etanol adalah nama
kimia dari alkohol, rumus kimianya adalah C2H5OH. Penggunaannya sangat luas
antara lain dalam industri kimia, kosmetik, industry minuman, sebagai bahan
pelarut dan bahan bakar. Etanol dapat
dibuat dari bahan hasil pertanian, seperti bahan yang mengandung turunan gula
(molase gula tebu, sari buah), bahan yang mengandung pati, atau bahan yang
mengandung selulosa kayu, limbah kayu, onggok, pulp kakao (Hartono, 1991).
Gula sederhana seperti
glukosa dapat langsung difermentasi menjadi etanol. Bahan yang mengandung senyawa yang lebih
kompleks seperti pati atau selulosa harus dihidrolisis menjadi senyawa yang
lebih sederhana sebelum difermentasi menjadi etanol. Hidrolisis dapat dilakukan secara kimiawi
atau menggunakan enzim. Purawisastra (1994)
menjelaskan bahwa medium gula pasir dengan penambahan enzim invertase dapat
meningkatkan konsentrasi etanol yang dihasilkan. Susijahadi (1998) lebih lanjut
menjelaskan bahwa konsentrasi gula awal substrat berpengaruh terhadap jumlah
alkohol yang dihasilkan. Wardani (1991)
menjelaskan bahwa, secara teoritis kadar alcohol maksimum yang dapat diperoleh
dari 180 g/l gula adalah 12.26% v/v. S. cerevisiae adalah galur yang
memproduksi etanol dalam jumah tinggi sehingga sering digunakan dalam produksi
etanol, anggur, minuman keras, dan enzim invertase.
Purawisastra (1994)
menyimpulkan bahwa enzim invertase disamping berperan pada hidrolisis molekul
sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa.
Juga dapat membantu proses konversi glukosa menjadi etanol. Dengan demikian, etanol yang dihasilkan
dipengaruhi oleh konsentrasi awal molekul sukrosa dan glukosa sebelum
fermentasi berlangsung. Baik khamir maupun bakteri dapat digunakan untuk
memproduksi etanol. Khamir S. cerevisiae var ellipsoids mampu menghasilkan
etanol dalam jumlah tinggi 1618% pada media yang sesuai.
Damanhuri (2004)
menyimpulkan bahwa substrat larutan madu rambutan afkir dengan kadar gula total
20% menghasilkan 16.10% etanol. Effendi
(2002) berpendapat bahwa, fermentasi substrat limbah cair pulp kakao dengan
kadar gula 12.63% baik tanpa maupun dengan penambahan urea dan S. cerevisiae
R60 dengan konsentrasi inokulum 10% (v/v), suhu 30°C, waktu fermentasi 48 jam
dihasilkan kadar etanol rata-rata 5.30%.
Untuk menghasilkan kadar etanol sebesar 5% sampai 6% diperlukan waktu
fermentasi antara 48 sampai 50 jam.
Pada kondisi aerob atau
konsentrasi glukosa tinggi S. cerevisiae tumbuh dengan baik, namun etanol yang
dihasilkan rendah dibandingkan secara anaerob.
Pada kondisi anaerob, pertumbuhan lambat dan piruvat dari jalur
katabolic dipecah oleh enzim piruvat dikarbosilase menjadi asetaldehid dan
karbon dioksida. Pada umumnya produksi etanol meliputi tiga tahap dimana tiap
tahap harus dioptimasi, fermentasi dan destilasi (Hartoto, 1991).
2.7.2
Fermentasi Asam Asetat
Asam asetat merupakan
hasil dua tahap proses fermentasi dimana tahap pertama adalah fermentasi gula
menjadi etanol oleh khamir, sedangkan tahap kedua adalah oksidasi etanol
menjadi asam asetat oleh bakteri asam asetat. Asam asetat (vinegar) adalah
senyawa yang cukup penting dalam pengolahan bahan pangan baik sebagai bumbu
maupun bahan pengawet (Luwihana, 1998).
2.8 Bakteri yang Berberan dalam Fermentasi
2.8.1. Khamir
Khamir atau yang sering
disebut juga ragi atau yeast adalah mikroorganisme bersel tunggal, berbentuk
bulat atau bulat telur atau bulat panjang membentuk seudomisellium (Frazier,
1977).
Selain itu khamir atau
ragi dapat diartikan sebagai jasad renik sejenis jamur yang berkembang biak
dengan sangat cepat dan yang mampu mengubah pati dan gula menjadi
karbondioksida dan alkohol. Ragi roti
merupakan kelompok khamir paling utama, yang secara komersial banyak
dimanfaatkan oleh manusia. Ragi roti
dianggap bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis apabila dapat mengubah atau
mengkonversi gula dalam proses fermentasi alkohol dan karbondioksida (Lopez dan
Penna, 2001). Ragi roti selain murah juga mudah diperoleh dan tahan lama
sehingga cukup ekonomis bila digunakan dalam fermentasi alkohol.
2.8.2 Bakteri
(Acetobacter aceti)
Fermentasi asam asetat
dilakukan oleh bakteri asam asetat terhadap larutan yang mengandung alkohol
oleh bakteri dari genus Acetobacter, biasanya spesies yang digunakan adalah
Acetobacter aceti (Fardiaz, 1989). A. aceti
bersifat motil atau nonmotil dan mengoksidasi etanol menjadi asam asetat yang
dioksidasi lebih lanjut menjadi karbondioksida (CO2) (Fardiaz, 1992). Frazier (1978) menyatakan bahwa A. aceti
berbentuk bulat panjang seperti batang, lurus atau agak melengkung dengan
susunan sel tunggal, berpasangan atau dalam rantai A. aceti bersifat
kemoorganotrof, sehingga dapat tumbuh pada medium sederhana maupun kompleks.
Bakteri ini merupakan bakteri aerob dengan suhu optimal 20°C - 30°C. A. aceti dapat mengubah alkohol menjadi asam
asetat pada konsentrasi alkohol optimal 10% - 13%. Konsentrasi alkohol yang terlalu rendah (0,0
– 0,5%), akan menyebabkan overoksidasi asam asetat menjadi CO2 dan H2O,
sedangkan konsentrasi alkohol lebih dari 14% akan mengakibatkan terhambatnya
proses fermentasi asam asetat (Waluyo, 1984).
A. aceti membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya minimal 0,36 gram
untuk setiap gram gula (Adams, 1980).
Menurut Waluyo (1984),
penambahan starter A. aceti ke dalam substrat beralkohol dilakukan pada saat
fermentasi alkohol berjalan sempurna, dimana kandungan alkohol berkisar antara
10% - 13%. Apabila di dalam media belum
mengandung alkohol dan dilakukan penambahan starter A. aceti, maka dapat
menyebabkan berkurangnya aktivitas khamir atau bahkan mematikan khamir,
sehingga tidak dapat menghasilkan alkohol dan proses fermentasi asam asetat
akan terhambat.
Menurut Wardani.
(1991), vinegar adalah larutan encer asam asetat yang dihasilkan melalui dua
tahap fermentasi larutan gula menjadi etanol dan dilanjutkan dengan proses
oksidasi etanol menjadi asam asetat. Fermentasi asam asetat membutuhkan medium
yang mengandung etanol 10-13%, umumnya medium tersebut diperoleh dari hasil
fermentasi alkohol, yaitu fermentasi pengubahan gula menjadi etanol. Bila konsentrasi etanol terlalu tinggi,
pembentukan asam asetat akan terganggu,
sehingga fermentasi etanol menjadi asam asetat tidak berlangsung dengan
sempurna, selain itu keasaman mediumperlu diperhatikan (Darwis dan Sukara
1989). Damanhuri (2004) menjelaskan
fermentasi asam asetat dengan substrat etanol 16.10% menghasilkan 0.11% asam
asetat dengan lama fermentasi selama 5 minggu. Pada proses pembuatan cuka
fermentasi, mula-mula dilakukan tahap fermentasi alkohol dimana gula yang ada
diubah menjadi etanol menggunakan khamir S.cerevisiae dalam kondisi anaerobik,
selanjutnya dalam tahap fermentasi asetat, etanol akan diubah menjadi asam
asetat, galur yang paling umum digunakan ialah A. aceti, dalam kondisi aerob
(Chandra, 1990).
Effendi (2002)
menyimpulkan bahwa pada fermentasi etanol hasil fermentasi limbah cair pulp
kakao oleh A. aceti B127 dengan kondisi suhu 30 οC, nilai pH awal 4,
konsentrasi etanol 5% (v/v), inokulum 10% (v/v), dengan kecepatan pengadukan
terbaik 400 rpm dengan hasil asam asetat 4.24%.
Ebner (1983) dan Standardisasi Nasional (1990) menjelaskan cuka yang
baik minimal harus mengandung 4% asam asetat.
Produksi asam asetat dapat ditingkatkan dengan cara pemberian aerasi dan
agitasi serta pengaturan suhu fermentasi pada suhu optimum pertumbuhan bakteri
asam asetat. Produksi asam sangat
bergantung pada tingkat kesuburan pertumbuhan sel bakteri dan tingkat kesuburan
tersebut menurun seiring dengan peningkatan kadar etanol substrat (Soedarini,
1998).
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gulma adalah setiap
tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak diinginkan sehingga manusia
berusaha untuk mengendalikannya. Gulma
dapat merugikan pertumbuhan dan hasil tanaman karena bersaing pada unsur hara,
air, cahaya dan sarana tumbuh lainnya.
Ciri gulma berbahaya atau sangat merugikan antara
lain: memiliki pertumbuhan vegetatif yang cepat, memperbanyak diri lebih awal
dan efisien, memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dan beradaptasi pada
kondisi lingkungan yang kurang baik, memiliki sifat dormansi, dapat menurunkan
produksi meskipun pada populasiu gulma rendah. Ada enam metode pengendalian
gulma yaitu
(a) Preventif atau
pencegahan yaitu pengendalian yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan dan
penyebaran gulma agar pengendalian dapat dikurangi atau ditiadakan
(b) mekanik/fisik yaitu
dengan cara merusak fisik atau bagian tubuh gulma sehingga pertumbuhannya
terhambat atau bahkan mati
(c) kultur teknik/ekologik yaitu pengendalian
dengan cara manipulasi ekologi atau lingkungan sehingga pertumbuhan gulma
tertekan dan sebaliknya untuk tanaman
(d) hayati yaitu
pengendalian yang bertujuan menekan populasi gulma dengan menggunakan organisme
hidup
(e) kimia yaitu
pengendalian dengan menggunakan herbisida; dan
(f) terpaduu yaitu
pengendalian dengan cara memadukan beberapa cara pengendalian secara
bersama-sama
B.
Saran
Saran yang dapat di berikan
memberantas dan mengendalikan gulma yang mempunyai pengaruh negatif dengan vara baik dan memanfaatkan gulma
dengan cara positif
DAFATAR PUSTAKA
Chandra, 1990 Beberapa Aspek Persaingan
dan Alelopati Gulma Utama Lahan Kering terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi
Gogo. Prosiding Konferensi ke-IX, Jilid II. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia.
Bogor
Frazier, 1977 Pengaruh
Ekstrak Alang-alang (Imperata cylindrica), Babadotan (Ageratum conyzoides), dan
Teki (Cyperus rotundus) terhadap Perkecambahan beberapa Varietas Kedelai.
Skripsi. Program Sarjana Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi,
Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Nasution,1986
ontrol of
purple nutsedge (Cyperus rotundus L.) using glyphosate and 2.4-D sodium
salt. Journal of Tropical Agriculture
42(1-2):49-51.
Soedarini, 1998Pengaruh Alelopati Teki
(Cyperus rotundus L.) terhadap Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea
L). Prosiding Konferensi ke-IX, Jilid I. Himpunan Ilmu Gulma Indonesia
Susanto,
1994, Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Tjitrosodirdjo, 1984, Pengelolaan Gulma
di Perkebunan. Gramedia. Jakarta.
Waluyo 1984, Pemanfaatan Mulsa Gulma
untuk Pengendalian Gulma Pada Tanaman
Kedelai Di Lahan Kering. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
laporan praktikum paku
BAB I PENDAHULUANA A.Latar Belakang Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu golongantumbuhan yang ...
-
BAB I PENGENALAN ALAT A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik atau interak...
-
BAB I II EKOSISTEM AIR TAWAR A. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Perairan me...
-
LAPORAN PRAKTIKUM ANATOMI TUMBUHAN STOMATA Disusun Oleh : Nama : Syahirul Alim Nim : 201741101...
No comments:
Post a Comment